Beranda Film Festival Sinema Kita, Festival Film Pertama di Surabaya

Festival Sinema Kita, Festival Film Pertama di Surabaya

253
0
Hapsoh Mubarak selaku Ketua Pelaksana FSK dan Gracia Ketua Program (dokpri)
Hapsoh Mubarak selaku Ketua Pelaksana FSK dan Gracia Ketua Program (dokpri)

blitzfemale.com | SURABAYA – Festivel Sinema Kita atau FSK adalah sebuah festival yang mengkolaborasikan antara banyak hal mulai dari film, workhsop, bedah buku hingga pameran. Intinya membangun ekosistem film di Surabaya.

“FSK kali ini merupakan yang pertama kali di Surabaya. Targetnya akan ada FSK di tahun depan dan berkesinambungan terus di tahun-tahun berikutnya. Yang merupakan bagian dari rangkaian acara ulang tahun kota Surabaya.” ujar Gracia selaku Ketua Program FSK.

Film dokumenter dihadirkan dari Ruang Obrol, beberapa dari Surabaya, Papua sisanya film Fiksi.

“Berbicara sineas, sebagian besar teman-teman ada kelompok-kelompoknya. Diharapkan dengan adanya Festival Sinema Kita ada jaringan, dimana marketnya ada sekolah, ada kampus, ada agency, ada pemain, ada persewaan alat. Ini lo ekosistemnya. Makanya kita membangun ekosistem perfilman di mulai dari sekarang.” jelas Hapsoh Mubarak selaku Ketua Pelaksana Festival Sinema Kita.

Anak-anak Surabaya sendiri untuk menekuni dunia film sangat tinggi, cuman ekosistemnya tidak terjamin. Ekosistem bukan platform penayangan. Tapi bagaimana produksi, ijin, kesediaan alat, kesediaan pemain, kesediaan kru. Makanya harus membangun ekosistem di Surabaya.

Festival Sinema Kita diselenggarakannya di Surabaya. Kalaupun ada produser dari luar kota yang tertarik untuk bergabung, mereka harus datang ke Surabaya sebagai pusat dari festival itu sendiri.

Sedangkan support Pemerintah Kota sangat luar biasa dengan memberikan  kesempatan memakai gedung dan mengijinkan menyelenggarakan FSK itu sangat membantu.

Peluncuran Film dan Buku Anak Negeri Di Pusaran Konflik Suriah

Berawal dari keprihatinan atas nasib perempuan dan anak-anak yang tertahan di Suriah, Dr Noor Huda Ismail melakukan riset bertahun-tahun hingga melahirkan sebuah buku dan film dokumenter yang berjudul sama “Anak Negeri Di Pusaran Konflik Suriah”.

Ditemui di tengah acara peluncuran bukunya, dia mengatakan bahwa acara ini selain pemutaran film, juga peluncuran buku yaitu buku Anak Negeri Di Pusaran Konflik Suriah.

“Kan isunya sangat sensitif banget. Bagaimana kita mengemas isu yang sensitif ini menjadi isu yang masyarakat bisa terima dengan lebih rileks dan santai. Karena ada sebuah fakta bahwa ada orang Indonesia terutama perempuan dan anak-anak yang sampai saat ini masih ada di kamp suriah. Dan dengan adanya Amerika sudah tidak mau lagi mengelola kamp, apa yang akan terjadi dengan mereka ini. Kalau konteksnya kenapa di Jawa Timur karena sebagian besar mereka adalah orang Jawa Timur.” jelas Noor yang lulus S1 UIN Yogyakarta dan Jurusan Komunikasi FISiP UGM, S2 jurusan Security International dari St Andrew university, Skotlandia dan mengambil S3 Monash di University Melbourne.

Selain stake holder atau pemerintah, acara tersebut juga mengundang akademisi, pemda, ormas dan kepemudaan, NU, Muhammadiyah, juga mahasiswa.

“Tujuan mengudang stake holder atau pemerintah dan masyarakat. Karena sebagai orang kreatif, sebagai akademisi. Kami hanya bertugas membangkitkan kesadaran ini. Karena kami tidak mempunyai wewenang.”

Sebetulanya buku ini bercerita tentang WNI yang terseret di dalam konflik Suriah. Ketika 2014 itu dengan adanya media sosial ada orang Indonesia tergiur untuk pergi kesana. Dan apa yang terjadi. Fokus saya bagaimana nasib korban, terutama perempuan dan anak-anak. Masih ratusan. Itulah yang harus kita lakukan sesuatu.

“Dari sisi akademisi yang mau saya omongkan adalah namanya teori glokalisasi, apa yang terjadi di global itu berpengaruh di lokal. Salah satu contoh kenapa McD mengambil alih rendang. Semangat lokalnya. Dengan Amerika duitnya lagi bermasalah, mereka tidak memberi dana misi kemanusiaan di luar negeri. Salah satunya ada warga negara yang dulu ada konflik mereka pergi ke Suriah. Sebagian perempuan dan anak-anak yang jumlahnya ratusan masih di kamp, mereka ini mau diapakan mereka ini.” papar Noor.

Noor menambahkan, “Saya menulis buku ini menulis tentang anak-anak negeri di pusaran konflik suriah. Siapa saja sih orang-orang Indonesia yang terbawa konflik arus suriah. Jadi saya wawancara orang dari kelompok JI atau Jamaah Islamiyah, atau kelompok JAD pendukung Isisnya. Fokusku terhadap korban terutama perempuan dan anak-anak. Karena mereka ke sana itu tidak melulu perang. Ada anak yang terlahir disana juga.”

Atas nama kemanusiaan memilih event seperti ini untuk mendiskusikan ini. Tidak hanya masalah keamanan tapi juga masalah sosial. Diskusi aja, bukan mencari yang bener atau salah.

Ketika ditanyakan spot-spot apa saja yang dipilih? Noor menjelaskan bahwa wilayah-wilayah yang dimana ada warganya yang sekarang di Suriah. Terutama orang Jawa Timur. Ada ratusan warga Jawa Timur yang ke Suriah sekarang masih disana.

“Ini bukan tanggung jawab saya sebagai penulis atau pembuat film. Tapi ini untuk membuat kesadaran bangsa. Kalo kembali mau kita apain? Saya tidak tahu jawabannya. Dan ini sebagai media untuk mengingatkan publik saja apa yang harus kita lakukan.” cetusnya.

Dan untuk saat ini fokusnya di Surabaya. Karena menurut dia, fungsinya hanya sebagai mak comblang. Untuk mengumpulkan akademisi, pemda dan densus duduk bareng. Ini ada masalah seperti ini harus bagaimana? Solusinya bagaimana ayo dipikirkan bareng-bareng. Makanya Noor menawarkan pola pendekatan 5 r : repatriasi, relokasi, rehabilitasi, reintegrasi, residensi.

Sebagai akademisi mendudukkan permasalahan ini dengan kepala dingin. Seperti gerakan dengan tagline beyond second chance, kasih kesempatan kedua.

“Durasi film cuman 25 menit. Yang penting adalah diskusinya. Bikinnya lama sejak tahun 2017. Ke Irak dan Siria untuk mengambil repatriasi 18 orang indonesia didokumentasikan, diikuti perjalanan mereka dari suriah ke indonesia memulai hidup baru. Apa saja tantangannya.” jelas Noor yang sekarang Visiting Fellow RSIS di NTU Singapura itu.

Sedangkan support dari pemerintah sejauh ini sangat welcome, buktinya bisa bikin acara besar seperti ini. Tapi urusan negara kan banyak. Jadi bukan prioritas yang utama. Hanya mengingatkan publik, ada masalah seperti ini penyelesaiannya bagaimana. Mencari solusi bersama.

Peluncuran buku dan penayangan film dokumenter tersebut adalah sebagian dari acara Festival Sinema Kita. (vad)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini